BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Definisi Dengue
Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang
persebarannya paling cepat. Dalam lima puluh tahun terakhir, insidensi penyakit
meningkat tiga puluh kali dan menyebar secara geografis ke negara yang
sebelumnya belum terjangkit. Menurut data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh
juta infeksi Dengue setiap tahunnya dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di
negara endemis.
Gambar 1.
Negara dengan resiko transmisi virus DBD.
Sumber : WHO, 2011
Dari 2,5 miliar populasi masyarakat di negara
endemis, sekitar 1,8 miliar tinggal di daerah Asia Tenggara dan Pasifik barat.
Di daerah Asia Tenggara, Dengue telah menjadi masalah kesehatan publik di
Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang diketahui daerah
beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona equatorial, tempat dimana Aedes
Aegepty menyebar secara merata baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.
DBD telah menjadi penyakit berpotensi tinggi menjadi penyebab kematian pada
anak. Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun
1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal
dunia.
Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk, jumlah penyebaran dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga
sekarang sudah menyebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Menurut data
Depkes RI, sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan penyebaran jumlah
provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota
menjadi 32 dan 382 kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga
peningkatan jumlah kasus DBD, dari 58 kasus pada tahun 1968 menjadi 158.912
kasus pada tahun 2009. Dengue di
Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga sepuluh tahunan.
Hal ini terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh
terhadap kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Menurut Mc Michael, perubahan iklim
menyebabkan perubahan curah hujan, kelembaban suhu, arah udara sehingga berefek
terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan
terutama terhadap perkembangan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes,
malaria dan lainnya.
Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi
masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas
penduduk yang sejalan dengan membaiknya sarana transportasi menyebabkan
penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.
Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009
terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar
kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, di tahun 1999-2009 kelompok umur
terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥15 tahun. Dan bila dilihat
distribusi kasus dilihat berdasarkan jenis kelamin pada tehun 2008, presentase
laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin
laki-laki adalah 10.463 orang dan perempuan berjumlah 8.991 orang.
Hal ini menggambarkan bahwa risiko tinggi terkena
DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin.
Berikut ini persentase kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008.
Gambar 2.
Presentase Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes
RI,2008
Berdasarkan angka insidensi (AI) suatu daerah dapat
dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan rendah.Dikatakan risiko
tinggi bila AI > 55 per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per
100.000 penduduk dan risiko rendah bila AI < 20 per 100.000 penduduk. Angka Insidensi
tertinggi dicapai di provinsi yang umumnya berada di pulau Jawa dan Bali, namun
angka kematian tertinggi umumnya berasal dari provinsi yang berada di luar
pulau Jawa dan Bali.
Menurut data Dinas Kesehatan, selama periode
2005-2009, provinsi dengan angka insiden tertinggi adalah DKI Jakarta dan dari
data tahun 2009, provinsi dengan angka kematian tertinggi adalah Bangka
Belitung. Pulau Jawa adalah pulau
dengan angka insidensi DBD tertinggi, provinsi yang berada di pulau Jawa dengan
angka kematian tertinggi adalah Jawa Tengah. Jawa Tengah sebenarnya merupakan
daerah yang dimasukkan dalam kategori risiko sedang pada tahun 2009. Namun
sebelumnya pada tahun 2007 dan 2008, Jawa tengah masuk kedalam kategori risiko
tinggi.
2.1.2
Gejala Penularan Demam Berdarah Dengu (DBD)
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B,
yaitu arthropad-borne virus atau virus yang disebabkan oleh
arthropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari famili Flavivirade.
Flavivirus ini berukuran diameter 40 nanometer, dapat berkembang biak
dengan baikpada berbagai macam kultur jaringan. Baik yang berasal dari sel-sel
mamalia misalnya BHK (Baby Hamster Kidney) maupun sel-sel arthropoda misalnya
sel Aedes albopictus.
Ada empat tipe yaitu virus dengue tipe 1, 2, 3, dan 4. Serotipe DEN-3
merupakan jenis yang dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah
satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang bersangkutan,
tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya
terdapat di Indonesia. Di daerah endemik DBD,seseorang dapat terkena infeksi
semua serotipe virus pada waktu yang bersamaan.
Epidemiologi dengue disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu virus,
manusia, nyamuk. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti
(di daerah perkotaan/ urban) maupun Aedes Albopictus (di daerah
pedesaan/ rural). Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang
menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat
virus dalam darahnya). Virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari
nyamuk ke telur-telurnya.
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam
kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue
akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan
berkembang selama 4-7 hari dan orang tersebutakan mengalami sakit demam
berdarah dengue. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada
dalam darah selama satu minggu.
Bionomik vektor meliputi kesenangan tempat perindukan nyamuk, kesenangan
nyamuk menggigit dan kesenangan nyamuk istirahat diantaranya:
1.
Kesenangan tempat perindukan
nyamuk
Tempat
perindukan nyamuk biasanya berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat
atau bejana. Nyamuk Aedes tidak dapat berkembangbiak digenangan air yang
langsung bersentuhan dengan tanah. Macam-macam tempat penampungan air:
a.
Tempat penampungan air (TPA), untuk keperluan sehari-hari seperti:
drum, bak mandi/WC, tempayan, ember dan lain-lain.
b.
Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti:
tempat minuman burung, vas bunga, ban bekas, kaleng bekas, botol bekas dan
lain-lain
c.
Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu,
pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan lain-lain
(Depkes RI, 1992).
2. Kesenangan
nyamuk menggigit
Nyamuk betina biasa mencari mangsanya pada siang
hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan puncak
aktivitasnya antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Berbeda dengan nyamuk
yang lainnya, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang
kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi
lambungnya dengan darah.
3.
Kesenangan nyamuk istirahat
Nyamuk Aedes hinggap (beristirahat) di dalam
atau kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya,
biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat tersebut nyamuk
menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan
telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat
perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Setiap
kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur
tersebut dapat bertahan sampai berbulan-bulan bila berada di tempat kering
dengan suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila di tempat tersebut tergenang air atau
kelembabannya tinggi maka telur dapa menetas lebih cepat (Depkes RI, 2005).
Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan
air bersih yang terdapat pada bejana-bejana di dalam rumah maupun di luar
rumah. Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah:
a. Sayap dan
badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
b. Berkembang
biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah
c. Jarak
terbang ± 100 m
dan nyamuk betina bersifat multiple biters
d. Tahan
dalam suhu panas dan kelembaban tinggi
2.1.3 Gejala Umum Penderita DBD
Demam
Berdarah Dengue (DBD) dapat menyerang anak usia sekolah maupun orang dewasa,
ditandai dengan gejala awal yaitu:
a. Demam
mendadak serta timbulnya tanda dan gejala klinis yang tidak khas.
b. Terdapat
kecenderungan terjadinya shock yang berakibat kematian
Hemostatis
yang abnormal dan kebocoran plasma adalah merupakan perubahan patofisiologis
yang paling mencolok disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan
temuan yang selalu ada. Gejala umum Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi
sebagai berikut:
a. Demam
Tinggi
b. Fenomena
pendarahan Hepatomegali
c. Sering
disertai kegagalan sirkulasi atau trombositopenia ringan atau sedang yang
disertai hemokonsentrasi.
Perubahan
patofisiologis utama menentukan derajat penyakit DBD. DBD biasanya diawali
dengan meningkatnya suhu tubuh secara mendadak disertai dengan memerahnya kulit
muka dan gejala klinik tidakkhas lainnya seperti:
a.
Tidak nafsu makan
b. Muntah
c.
Nyeri kepala
d. Nyeri
otot dan persendian
Keluhan-keluhan
beberapa pasien DBD antara lain:
a.
Nyeri tenggorok dan pada pemeriksaan faring
b. Rasa
tidak enak di daerah epigastrum
c.
Nyeri tekan pada lengkung iga kanan
d. Rasa
nyeri perut yang menyeluruh
e.
Suhu badan tinggi mencapai 40º Celsius berlangsung selama 2-7 hari, dan
kemudian menjadi normal atau subnormal dan dapat disertai kejang demam
2.1.3.1 Manifestasi Klinis menurut WHO
Kasus DBD
ditandai oleh empat manifestasi klinis yaitu:
a.
Demam tinggi
b. Perdarahan
terutama perdarahan kulit hepatomegali
c.
Kegagalan peredaran darah
Pada
tahun 1975 WHO menyusun patokan dalam diagnosis klinis pada penderita DBD
yaitu:
1. Demam
tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari
2. Manifestasi
perdarahan termasuk setidak-tidaknya uji Tourniquet positif dan salah satu
bentuk lai seperti petikia, purpuria, ekinosis, epitaksis, perdarahan
gusi, hematemesis atau melena
3. Pembesaran
hati
4. Tanpa atau
disertai renjatan
5. Trombositopenia
6. Hemokonsentrasi
yang dapat ditafsikan dengan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20% atau
lebih dibandingkan nilai hematokrit pada masa konvalessen
2.1.3.2 Gambaran Klinik
1. Masa
Inkubasi
Sesudah
nyamuk menggigit penderita dan memasukkan virus dengue kedalam kulit, terdapat
masa laten yang berlangsung 4-5 hari diikuti oleh demam, sakit kepala dan
malaise.
2. Demam
Demam
terjadi secara mendadak berlangsung selama 2-7 hari kemudian turun menjadi suhu
normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsungnya demam, gejala-gejala
klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang,
dan persendian, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyertainya.
3. Perdarahan
Perdarahan
biasanya terjadi pada harikedua dari demam dan umumnya terjadi pada kulit.
4. Hepatomegali
Pada
permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba meskipun pada anak kekurangan
gizi, hatipun sudah teraba. Bila terjadi peningkatan dari hepatoegali dan hati
teraba kenyal,harus di perhatikan kemungkinan akan terjadinya renjatan pada
penderita.
5. Renjatan
(syok)
Permulaan
syok biasanya terjadi pada hari ketiga sejak sakitnya penderita, dimulai dengan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung,
jari tangan dan jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi
pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk. Nadi menjadi
lembut dan cepat, kecil bahkan sering tidak teraba. Tekanan darah sistolik akan
menurun sampai di bawah angka 80 mmHg. Manifestasi renjatan pada anak terdiri
atas:
a.
Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan,
dan hidung
b. Kuku
menjadi biru, kegagalan sirkulasi insufien yang menyebabkan peninggian
aktifitas simpatikus secara refleks
c.
Apati,sopor, dan koma akibat kegagalan sirkulasi serebral.
d. Tekanan
nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
e.
Tekanan sistolik pada anak turun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f.
Ologuria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi
arteri renalis.
6. Pembesaran
Hati
Hati yang
membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan pembesaran hati
ini tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan sering kali di temukan
tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berusia 4 tahun dan atau lebih dengan
gizi baik biasanya tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada anak
yang hatinya semula tidak dapat diraba pada saat masuk rumah sakit dan selama
perawatan hatinya menjadi lebih dan kenyal, karena keadaan ini menunjuk ke arah
erjadinya renjatan. Pembasaran hati dilaporkan ditemukan sekitar 64,4% pada
bagian anak di rumah sakit. Menurut WHO (1997) yang memberi pedoman untuk
membantu menegakkan diagnosis DBD secara dini disamping menentukan derajat
beratnya penyakit.
7. Klinis
Berat Penyakit
1. Demam
mendadak tinggi
2. Derajat I
: demam dengan uji bendung +
3. Perdarahan
(termasuk uji bendung +)
4. Derajat
II, derajat I + perdarahan spontan seperti petekie, epitaksis, hematemesis, dan
lain-lain
5. Derajat
III: nadi cepat dan lemah, tekanan darah tak terukur
6. Derajat
IV : syok berat, nadi tak teraba
7. Syok :
nadi kecil dan cepat
8. Gejala
Klinik Lain
Nyeri
epigastrum, mual, batuk, Atropapil, muntah-muntah, diare, maupun obstipasi dan
kejang-kejang. Keluhan nyeri perut yang hebat seringkali menunjukan akan
terjadinya perdarahan gastrointestinal dan syok.
9. Diagnosa
Laboratoris
a.
Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan trombosit
hingga 100.000 /mmHg.
b. Hemokonsentrasi,
meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau lebih
10. Derajat
Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue)
a. Derajat I
(Ringan)
a.
Bila Demam mendadak 2-7 hari yang disertai gejala klinis tidak khas
b. Satu-satunya
gejala perdarahan yang paling ringan adalah hasil uji tourniquet yang positif
b. Derajat
II (Sedang)
Gejala
yang timbul pada DBD derajat I di tambah perdarahan spontan biasanya
dalam bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lainnya. Epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis atau melena. Terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang
ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.
c. Derajat
III (Berat)
Kegagalan
sirkulasi yang ditandai dengan: denyut, nadi yang cepat dan lemah. Menyempitnya
tekanan nadi 20 mmHg atau kurang atau hipotensi, ditandai dengan kulit dingin
dan lembab serta kondisi pasien menjadi gelisah
d. Derajat
IV (Berat Sekali)
Syok DSS (Dengue Shock Syndrome) berat
dengan tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah yang tidak
terukur.
2.1.3 Cara Penularan
Virus dengue ditransmisikan dari manusia ke manusia
oleh gigitan nyamuk. Manusia adalah hospes definitif dari virus tersebut.
Ditemukan juga bahwa di daerah hutan Malaysia dan Afrika, monyet menjadi hospes
utama dari virus ini. Aedes aegepty adalah vektor nyamuk yang paling
efisien dalam menyebarkan virus dengue karena kebiasaan hidupnya. Nyamuk betina
mencari menggigit manusia di siang hari.
Setelah menggigit manusia yang terjangkit virus
dengue, Aedes aegepty dapat menularkan dengue secara segera setelah
menggigit manusia yang sudah terinfeksi atau setelah menunggu waktu inkubasi (
8-10 hari) sehingga virus telah bertambah banyak di kelenjar ludah nyamuk.
Sekali terinfeksi, selama daur hidup nyamuk (30-45 hari) dapat tetap
menginfeksi manusia. Nyamuk Aedes lain yang memiliki kemampuan menularkan
dengue adalah Aedes albopitecus, Aedes polynesiensis dan Aedes
scutellaris.
Masing-masing spesies punya distribusi geografik
yang berbeda dan spesies-spesies tersebut kurang efisien dalam menyebarkan
dengue dibanding dengan Aedes aegepty.
Menurut WHO ada tiga siklus penyebaran virus Dengue:
1) Siklus Enzootik : siklus penularan yang
terjadi antara monyet-Aedes-monyet yang dilaporkan terjadi di Asia Selatan dan
Afrika. Virus tidak bersifat patogenik bagi monyet . Ke empat serotip dari
dengue (DENV1-4) mampu menulari monyet.
2) Siklus Epizotik : virus dengue menyilang
ke primata dari kondisi epidemik manusia. Perpindahan tersebut dijembatani oleh
vektor.
3) Siklus Epidemik : siklus epidemik terjadi
antara manusia-Aedes aegepty-manusia. Kontinuitas siklus ini bergantung
pada tinggi titer virus pada manusia yang memberikan kemampuan meneruskan
transmisi ke nyamuk.
2.1.4 Faktor yang
mempengaruhi kejadian DBD
Menurut segitiga epidemiologi, suatu penyakit
termasuk DBD dapat timbul akibat pengaruh dari 3 faktor berikut:
2.1.4.1. Agent
Agent merupakan
penyebab infeksi, dalam penyakit DBD disebabkan oleh virus. Sedangkan vektornya
merupakan nyamuk Aedes. Virus Aedes mampu bermultiplikasi pada
kelenjar ludah dari nyamuk Aedes Aegepty. Maka pengontrolan terhadap
virus dengue dapat dilakukan dengan pengontrolan vektornya yakni nyamuk Aedes.
Jumlah kepadatan vektor Aedes dalam suatu daerah dapat menjadi patokan
potensial penyebaran DBD.
2.1.4.2. Host
Terjadinya penyakit DBD pada
seseorang ditentukan oleh faktor-faktor yang ada pada host itu sendiri.
Kerentanan terhadap penyakit DBD dipengaruhi oleh imunitas dan genetik.
1) Imunitas
Status imunitas dari host merupakan
komponen penting yang menentukan perkembangan penyakit DBD. Ditemukan kejadian
DBD meningkat pada kasus:
a. Anak
yang pernah terinfeksi dengue
Fase
akut dari dengue mampu menghasilkan imunitas homotypic jangka lama. Selain
itu, dalam beberapa penelitian menyebutkan dapat terjadi imunitas yang bersifat
cross reactive heterotypic. Namun jika antibodi dari imunitas cross
reactive heterotypic tersebut memudar dan gagal menetralkan virus Dengue
dalam infeksi sekunder. Antibodi tersebut menjadi mampu memacu pathogenesis
penyakit sehingga dapat terjadi demam berdarah dengue.
b. Bayi
dengan maternal dengue antibody yang minim.
Pasif
IgG dengue antibody dari ibu jika dimiliki oleh bayi dibawah umur 1
tahun dalam taraf dibawah level penetralisir virus, memiliki kapabilitas
meningkatkan replikasi virus sehingga dapat terjadi demam berdarah dengue pada
infeksi primer.
2)
Genetik.
Sebuah
penelitian oleh J.F.P Wagenaar, dkk, telah membuktikan keterlibatan
beberapa HLA (Human Leukocyte antigen) dan polimorfisme genetik umum dapat
mempengaruhi kerentanan terhadap DBD. Keberagaman tersebut mampu memberikan
kerentanan atau ketahanan kepada host terhadap virus dengue. Berikut ini sifat
yang diberikan oleh gen HLA tertentu :
a.
Ketahanan terhadap virus :
HLA alel class 1 :
A29, A33, B13, B14, B44, B 52, B62, B76, B77
b.
Kerentanan terhadap virus :
a) HLA alel class 1 : A1, A2, A24, B
blank, B46, B51
b) HLA alel class 2
c) Fc gamma-receptor
d) Vitamin D receptor
2.1.4.3. Environment
Pengaruh
dari lingkungan yang mendukung berkembangnya virus ataupun vektor dari penyakit
DBD antara lain :
1) Geografis dan Iklim
Dengue
utamanya ditemukan di daerah tropis. Karena Vektornya yaitu nyamuk Aedes membutuhkan
iklim yang hangat.15 Ketinggian juga merupakan faktor penting dalam distribusi
nyamuk Aedes. Di Asia Tenggara ketinggian 1000-1500 meter di atas
permukaan laut merupakan batas penyebaran nyamuk Aedes.2
2) Faktor
lingkungan lain
Kebersihan
lingkungan, kondisi tempat penampungan air, dan kondisi tempat pembuangan
sampah menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan nyamuk Aedes.
Kondisi tersebut dapat dihindari dengan perilaku pencegahan yang dilakukan oleh
masyarakat sendiri. Dalam rumah tangga, hendaknya dapat dilakukan oleh setiap
anggota keluarga.
2.2 Ibu Rumah Tangga
2.2.1 Definisi Ibu Rumah Tangga
Rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal
dibawah satu atap atau dalam satu bangunan dan mempunyai dapur dan anggaran
rumah tangga yang sama. (Sukarni, 2003 : 15) Jadi ibu rumah tangga adalah
seorang wanita yang telah menikah dan menyandang status sebagai seorang istri
atau ibu yang tinggal bersama seorang
kepala keluarga dan anak – anak mereka.
Jadi secara singkat untuk menjadi
ibu rumah tangga yang profesional, ada 3 elemen yang harus terpenuhi. Yakni
seorang ibu rumah tangga harus memiliki kompetensi baik dalam hal
kerumahtanggaannya, memiliki kepatuhan pada sistem yang telah disepakati
bersama seluruh anggota keluarga, serta memiliki pribadi yang memberikan
keuntungan (bermanfaat bagi anggota keluarga. (Anggraeny, 2008 : 84)
2.2.2 Pengetahuan Pencegahan DBD Pada Ibu Rumah Tangga
Tingkat
pendidikan terbukti secara statistik berhubungan dengan tindakan kepala
keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Widyanti (2005) yang membuktikan
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tindakan masyarakat dalam upaya
pencegahan penyakit DBD dengan nilai odds ratio 7,633. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa responden yang berpendidikan rendah mempunyai
kemungkinan 7,633 kali akan mempunyai tindakan yang kurang dalam upaya
pencegahan penyakit DBD.
Hasil ini
sejalan pula dengan penelitian Cahyo (2006) yang menunjukan adanya hubungan
antara tingkat pendidikan dengan praktik pencegahan penyakit DBD. Pendidikan
yang relatif rendah melatarbelakangi sulitnya penduduk untuk mengetahui konsep
terjadinya penyakit DBD serta cara penanggulangan atau pemberantasan. Tingkat
pendidikan responden terbanyak adalah tingkat SMP. Hal ini menunjukan bahwa
pendidikan responden masih pada kelompok pendidikan dasar, menurut
undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, SMP termasuk dalam kategori pendidikan
dasar yang berfungsi untuk menyiapkan anak didik pada jenjang menengah.
Pendidikan dasar
(SD dan SMP) merupakan pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan
selanjutnya, sehingga pendidikan setingkat SMP hanya sebagai tingkat dasar,
sehingga materi yang diberikan hanya sebatas tingkat dasar. Pendidikan didalam
sekolah memberikan bekal pengetahuan kepada anak didik dan memberikan pandangan
yang lebih kongkrit tentang wawasan keilmuan sekaligus sebagai pewarisan
nilai-nilai dan sikap masyarakat. Dengan demikian pendidikan disekolah dapat
berimplikasi pada individu dalam memberikan tanggapan terhadap suatu masalah
(Gunarsa, 2001).
Adanya latar
belakang pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan kualitas perilaku dan sikap
individu. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa tindakan merupakan respon internal
setelah adanya pemikiran, tanggapan, sikap batin, dan wawasan. Seseorang yang
memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi memiliki tingkat pengetahuan dan
wawasan yang lebih baik dan luas, serta memiliki kepribadian dan sikap yang
lebih dewasa. Wawasan dan pemikiran yang lebih luas di bidang kesehatan akan
mempengaruhi perilaku individu dalam menyikapi suatu masalah, pendidikan yang
baik dapat memotivasi, memberi contoh dan mendorong anggota keluarga untuk
melakukan pencegahan penyakit DBD.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan
tindakan kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan
penyakit DBD (p=0,002). Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah
satu faktor resiko penularan penyakit DBD, semakin padat penduduk maka semakin
mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya
(WHO, 2000). Sebaliknya dalam penelitian Fathi (2004) menunjukkan bahwa
kepadatan penduduk tidak berperan dalam kejadian luar biasa penyakit DBD di
Kota Mataram.
Pembagian tugas
di dalam rumah tidak harus dilakukan oleh orang tua, mereka yang mempunyai anak
cukup besar bisa melibatkan anak-anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah sesuai
dengan kemampuannya. Anak-anak perlu diberi batasan tugas dan tanggung jawab
yang besar kecilnya disesuaikan dengan kematangan usianya. Dalam proses
perkembangan anak, memberi contoh adalah cara yang paling efektif untuk
mengharapkan anaknya untuk melakukan sesuatu misalnya menerapkan konsep hidup
sehat. Di sini orang tua dapat memberi contoh bagaim ana cara hidup yang sehat. Melakukan pemberantasan sarang nyamuk
dengan cara 3 M (Menutup, Menguras, Mengubur), maka akan terhindar dari
penyakit DBD.
Kepala keluarga
bertanggung jawab terhadap anggota keluarga. Tanggung jawab tersebut akan
berpengaruh pada kebiasaan dan pola pikir untuk memberikan contoh bagi setiap
anggota keluarga untuk bersikap lebih balk lagi dengan cara mengajarkan pola
hidup sehat terhadap anggota keluarga agar terhindar dan penyakit DBD, dan
upaya mengantisipasi agar terhindar dari berbagai penyakit perlu diadakan
kerjasama diantara keluarga dengan membersihkan lingkungan rumah dan melakukan
pemberantasan sarang nyamuk apalagi pada musim hujan nyamuk berkembang biak
dengan cara cepat sehingga perlu pencegahan sedini mungkin dan melakukan
persiapan untuk mengantisipasi.
Secara statistik
membuktikan ada hubungan antara informasi DBD dengan tindakan kepala keluarga
menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000). Hal ini
sesuai dengan penelitian Widyanti (2005) yang menyatakan bahwa informasi
mempengaruhi tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dan penelitian
Langkap (2004) menyatakan bahwa dalam hal pencegahan DBD keluarga umumnya juga
sudah memiliki pengetahuan yang baik, pengetahuan yang baik tidak terlepas dari
upaya penyebaran informasi yang dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai
macam saluran, sumber dan media yang disampaikan kepada keluarga.
Penelitian ini
didukung oleh Hasyimi (1993) dalam Langkap (2004) yang menyatakan bahwa 65%
responden mengetahui penyebab DBD, 60,2% responden mengetahui tempat perindukan
nyamuk 76,4% tahu cara memberantas sarang dan jentik nyamuk dan 48% mengetahui
cara mengigit nyamuk pada siang hari. Ditinjau dari informasi DBD menunjukkan
bahwa pengetahuan responden diperoleh dari petugas kesehatan, media televisi
dan radio, majalah atau koran, dan pemberitahuan dari teman, informasi yang
diperoleh pun harus bersifat akurat, tepat waktu dan relevan.
Hal ini akan
berdampak pada munculnya sikap yang diambil dan dilakukan dengan tindakan untuk
mempraktekkan pengetahuannya, masyarakat yang memiliki akses
informasi-informasi baru yang berkaitan dengan penyakit DBD dan dengan
informasi tersebut maka pengetahuan masyarakat tentang bahaya dan pencegahan
dapat bertambah, sehingga akan dihayati dalam bentuk sikap dan diterapkan
secara nyata dalam kehidupan nyata. Memberikan informasi-informasi tentang
cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari
penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang upaya
pencegahan penyakit DBD, pengetahuan merupakan hasil dari tahu dari manusia
yang terjadi setelah manusia tersebut
melakukan pengindraan.
Pengindraan
melalui berbagai alat indra akan tetapi sebagian besar pengetahuan diperoleh
melalui penglihatan dan pendengaran, pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang atau over behavior
(Notoatmodjo, 2003). Pada kenyataannya perilaku yang didasari pengetahuan akan
lebih langgeng dari pada perilaku yang tanpa didasari dengan pengetahuan,
pengetahuan diyakini kebenarannya yang kemudian terbentuk perilaku baru yang
dirasakan sebagai pemiliknya.
Azwar (2003)
menyatakan bahwa sikap adalah suatu pola perilaku atau antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, secara sederhana
sikap dapat dikatakan adalah respon terhadap stimuli sosial yang telat
terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat
terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan
timbulnya KLB penyakit DBD.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara partisipasi sosial dengan tindakan
kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD
(p=0,000). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Djauri (2003) dimana
terdapat hubungan antara partisipasi sosial dengan pengendalian penyakit DBD
dan penelitian Warniningsih (2007) menunjukkan hubungan antara kecemasan dan
partisipasi masyarakat dalam menghadapi penyakit DBD, dalam kegiatan pencegahan
DBD partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Dengan adanya partisipasi aktif
maka diharapkan mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat DBD pada
masyarakat, sehingga mampu meningkatkan derajad kesehatan masyarakat.
Partisipasi
sosial masyarakat merupakan bentuk ikut sertanya responden dalam kegiatan
sosial masyarakat dalam upaya mencegah DBD.Masyarakat sendirilah yang aktif
memikirkan, merencanakan, melaksanakan kegiatan yang dilakukan untuk mencegah
penyakit DBD.Menurut Notoatmodjo (2005) partisipasi sosial masyarakat dalam
mencegah penyakit DBD dapat dilakukan dengan kerjasama masyarakat dan lembaga
pemerintah harus menunjukkan perhatian yang tulus tenhadap penderitaan manusia
misalnya angka kesakitan dan kematian. Kemudian diadakan dialog antara lembaga
pemerintah dengan tokoh masyarakat.
Dialog dilakukan
melalui kontak personal diskusi kelompok dan pertunjukkan film, interaksi harus
dapat membangkitkan pemahaman bersama, kepercayaan, keyakinan, antusiasme dan
motivasi. Selanjutnya diadakan penyuluhan kesehatan tapi tidak hanya terbatas
pada pemberitahuan
tentang apa yang boleh dan tidak boleh, tetapi penyuluhankesehatan harus
didasarkan pada penelitian.
Penggalaman
sakit terbukti secara statistik ada hubungan dengan tindakan kepala keluarga
menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000).
Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang
sangat berperan dalam menginterprestasikan stimulus yang diperoleh. Pengalaman
pernah terserang penyakit DBD menjadi pelajaran dan akan menyebabkan terjadinya
sikap antisipasi (Notoatmodjo, 2005). Perubahan sikap yang lebih baik akan
memberikan dampak yang lebihbaik dan pengalaman tersebut dijadikan bahan
pembelajaran bagi seseorangyang akhirnya dapat merubah perilaku untuk mencegah
kembali anggota keluarganya terserang penyakit DBD.
Jadi terdapat
hubungan antara pendidikan, jumlah anggota keluarga, informasi DBD, pengalaman
sakit dan partisipasi sosial dengan tindakan kepala keluarga beserta seluruh
anggota keluarga dalam upaya pencegahan penyakit DBD.