Minggu, 21 Desember 2014

Daftar Pustaka

Daftar Pustaka

2007 Puncak DBD di Indonesia. http://www.bipnewsroorn.info/indek. Diaksestanggal 22 Januari 2008.
Anies. Seri Lingkungan dan Penyakit : Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta: Elek Media Komputindo. 2006. p. 52-69.
Anonim. 2005. Perilaku Nyarnuk Aedes Aegypti.http.//www.pdpersi.co.id. Diakses tanggal 5 Januari 2008.
Anton S. Hubungan perilaku tentang pemberantasan sarang nyamuk dan kebiasaan keluarga dengan kejadian demam berdarah dengue di kecamatan Medan Perjuangan kota Medan. 2008. 
Azwar, A. 2003. Sikap Manusia Teori Dan Pengukuranya. Edisi Kedua Yogyakarta :Pustaka Pelajar.
Cahyo, K. 2006. Analisis Perilaku Keluarga Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Dernarn Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Meteseh Kecamatan Tembeleng Kota Semarang. http:// www.litbang.depkes.go.id .Diakses tanggal 12 September 2008.
Cook, Gordon dan Alimuddin L. Zumla. Manson’s Tropical Diseases 22th Edition. Philadelphia : Saunders Elsevier. 2009. p. 753-762.
Depkom, 2005. Puncak DBD di Indonesia. http://www.bipnewsroom.info/indek. Diakses 22 Januari 2007.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang 2009. Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang. 2010. [cited : November 08, 2011]. Available from: http://www.dinkes-kotasemarang.go.id/download/profil_kesehatan_2009.pdf 65
Ditjen PPM-PL. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan DBD di Indonesia. Ditjen PPM-PL, Jakarta.
Djauri, 2003. Hubungan Kondisi Lingkungan dan Partisipasi Masyarakat dengan Pengendalian Demam Berdarah di Kota Pontianak Kalimantan Barat. (Tesis UI). http://www.digilibui.edu/opac. Diakses 12 Agustus 2008
DKK Sragen 2007. Laporan Data Penyakit DBD di Kecamatan Gondang. 2007: Puskesmas GondangKabupaten Sragen.
Fathi, 2005. Peran Faktor Lingkungan dan Perilaku Terhadap Penularan Demam Berdarah Dengue Di Kota Mataram: Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 1, Juli 2005: 1-10.
Gunarsa, 2001. PengantarPsikologiPendidikan. Jakarta: Mutiara.
Hasyimi. 1993. Pengetahuan dan Sikap Penduduk Terhadap Nyamuk DBD di kelurahan Ancol Jakarta Utara.Artikel Media Litbangkes
Holan.1997. Variabel yang mempengaruhi partisipasi ibu rumah tangga dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk. Cermin Dunia Kedokteran.
Inggrid K. Dengue Virus Infection :Epidemiology, Pathogenesis, Clinical Presentation,Diagnosis and Prevention. J Pedriatic. 1997. : 131(4):516-24.
Ishak, H. 2006. Upaya Strategis Dalarn Penanggulangan DBD di Indonesia. FKM UNHAS Kep. Dirjen PPM.PLP. 1992. Petunjuk Teknis Penggerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk(PSN). Jakarta: Bakti Husada.
Kittigul L. Suankeow K, Sujirajat D., Yoksan S. Dengue hemorrhagic fever: knowledge, attitude and practice in Ang Thong Province. Ang Thong. South Asian J Trop Med Public Health. 2003;34(2): 385-92.
Koenraadt Constantianus J.M., Tuiten W., Sithiraprasasna R., Kijchalao U., Jones James W., Scott Thomas W.. Dengue knowledge and practices and their impact on Aedes Aegepty population in Kamphaeng Phet, Thailand. Kamphaeng Phet. Am. J. Trop. Med. 2006. 74(4): 692-700.
Kristina, dkk. 2005. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Litbang Depkes RI http://www.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 5 November 2007
Kristina, dkk. 2005. Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Litbang Depkes RI
Langkap, 2004. Partisipasi Keluarga Dalam Pencegahan DBD di Kabupaten Kota Waringin Timur. (Tesis Universitas Gajah Mada)
Litbang Depkes. 2007. <http://www.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 5 November 2007>
Mardikanto, T. 2005. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue Berbasis Keluarga. Simposium Dengue Control Up Date. Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta.
Murti, B. 2006. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Murt, B. 2006. Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Nelson WE., Kligman R. Ilmu kesehatan anak. 15th ed. Alih bahasa. Samik Wahab.2000. Jakarta: EGC. 2000.
Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta : Rineka Cipta. 2003. p. 114-134.
Notoatmodjo, S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta. 2007. p. 133-151.
Notoatmodjo, S. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta : Rineka Cipta; 2007. P. 36-43.
Notoatmojo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat.jakarta: Rineka Cipta
Notoatmojo, 2005. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta
Notoatmojo, 2007. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah Dengue Volume 2. 2010. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Available from: http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/buletin/BULETIN DBD.pdf
Satari, H.I dan Meihandari Mila.2004. Demam Berdarah Perawatan di Rumah Sakit dan Rumah Sakit + Menu. Jakarta: Puspa Swara
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Simposium & Workshop: Update Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Semarang: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2010. p. 1- 25.
Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.
Suroso, T. 2001. Partisipasi Masyarakat dalam pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue di Purwokerto. Seminar Hasil di Hotel Rosenda, Batu Raden, Purwokerto 13 September 2001.
Wagenaar JFP, Mairuhu ATA., van Gorp ECM. Genetic Influences on Dengue Virus Infection. Dengue Bulletin. 2004; 28(1): 126-135.
Warniningsih, 2007. Hubungan Kecemasan Dan Partisispasi Masyarakat Menghadapi DBD di Desa Ngestiharjo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul. (Tesis Universitas Gajah Mada)
Widodo, A. 2005. Peningkatan pengetahuan, Sikap dan Keterampilan Ibu-ibu PKK Desa Makamhaji Mengenai Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (Warta), Vol. 10. No.1, Maret 2007: 10-18. http//www.eprint.ums.ac.id. Diakses 10 Maret 2007
Widyanti, I. 2005. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan DBD di Desa Makam Haji Wilayah Kerja Puskesmas II Sukoharjo. (Skripsi). Surakarta: Fakultas Ilmu Kedokteran UMS
WHO. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And Control. 2009. [cited: November 08, 2011]. Available from: http://apps.who.int/tdr/svc/publications/training-guideline-publications/dengue-diagnosis-treatment.
 WHO Regional Office for South-East Asia. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. 2010. [cited: November 08, 2011]. Available from : http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_DHF_preventioncontrol_guidelines_rev.pdf.
WHO. The Dengue Strategic Plan For The Asia Pasific Region 2008-2015. 2008. [cited : November 08, 2011]. Available from : http://www.searo.who.int/LinkFiles/Dengue_Dengue_Strategic_Plan_for_the_Asia-Pacific_Region_(2008-2015).pdf
WHO. Working to overcome the global impact of neglected tropical diseases. 2010. [cited: November 08, 2011]. Available from : http://www.who.int/neglected_diseases/2010report/WHO_NTD_report_update_2011.pdf.


BAB IV PENUTUP

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Demam berdarah adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus dengue. Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia. Gejala umum DBD yang terjadi adalah : demam tinggi, fenomena pendarahan hepatogmegali, timbulnya gejala klinis yang tidak hkas ( tidak nafsu makan, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan persendian). Pendidikan pada IRT akan mempengaruhi pengetahuan ibu tentang pencegahan DBD, semakin tinggi pengetahuan para ibu maka akan semakin baik cara pencegahannya, sebaliknya semakin rendah pengetahuan ibu maka tingkat pencegahan DBD  pada ibu rumah tangga (IRT) akan semakin buruk  tingkat pencegahannya.  sekitar tempat tinggal ibu.

Pencegahan untuk DBD dilakukan dengan cara menjaga lingkungan sekitar rumah agar tetap sehat dan bersih, melakukan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk), melakukan 4M(Menguras, Menutup, Mengubur dan Memantau) dan mengadakan pembersihan dilingkungan sekitar tempat tinggal ibu. faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD :
1. Agent merupakan infeksi (disebabkan oleh virus dan nyamuk aedes aegepty)
2. Host merupakan faktor yang terdapat dari tubuh host itu sendiri( dari ketahanan imun dan genetic imunitas tubuh seseorang)
3. Environment merupakan pengaruh dari luar yang mendukung perkembangannya virus ataupun vector dari penyakit DBD tersebut antara lain geografis dan iklim serta faktor lingkungan lain.

4.2        Saran
Dari hasil penelitian yang telah saya lakukan, terdapat beberapa hal yang perlu saya rekomendasikan untuk penelitian terkait dengan topik penelitian ini yaitu untuk para ibu rumah tangga diharapkan dapat mempunyai pengetahuan yang baik terhadap pencegahan DBD. Serta untuk tingkat pendidikan ibu diharapkan tidak menjadi patokan seorang ibu untuk mengetahui informasi tentang pengetahuan DBD. Ibu rumah tangga juga harus turut ikut serta dalam pencegahan DBD dilingkungan tempat tinggal ibu.









Rabu, 17 Desember 2014

BAB III PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang saya lakukan berupa kuesioner tentang "faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan pencegahan DBD pada ibu rumah tangga" dan kuesioner tersebut saya sebar dilingkungan tempat tinggal saya, kedalam beberapa variabel yaitu : Pengetahuan, Gejala Umum, Penyakit, Kasus DBD, Jenis Nyamuk, Pencegahan, Pengetahuan Ibu, Pendidikan, Kesadaran Masyarakat, Peran Pemerintah adalah sebagai berikut :

1. Data Kuesioner & Lembar Kuesioner




2. Input Data




3. Pengolahan Data





4. Output Grafik Data





Selasa, 09 Desember 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1     Demam Berdarah Dengue
2.1.1  Definisi Dengue
Dengue adalah penyakit virus mosquito borne yang persebarannya paling cepat. Dalam lima puluh tahun terakhir, insidensi penyakit meningkat tiga puluh kali dan menyebar secara geografis ke negara yang sebelumnya belum terjangkit. Menurut data WHO 1955-2007, didapatkan lima puluh juta infeksi Dengue setiap tahunnya dan terdapat 2,5 miliar orang yang hidup di negara endemis.
Gambar 1. Negara dengan resiko transmisi virus DBD.
Sumber : WHO, 2011

Dari 2,5 miliar populasi masyarakat di negara endemis, sekitar 1,8 miliar tinggal di daerah Asia Tenggara dan Pasifik barat. Di daerah Asia Tenggara, Dengue telah menjadi masalah kesehatan publik di Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste yang diketahui daerah beriklim tropis dan memiliki lokasi di zona equatorial, tempat dimana Aedes Aegepty menyebar secara merata baik di daerah perdesaan maupun perkotaan. DBD telah menjadi penyakit berpotensi tinggi menjadi penyebab kematian pada anak. Di Indonesia Dengue pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia.

Dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk, jumlah penyebaran dan daerah persebarannya pun meningkat, dan hingga sekarang sudah menyebar luas ke seluruh daerah di Indonesia. Menurut data Depkes RI, sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan penyebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota menjadi 32 dan 382 kabupaten/kota pada tahun 2009. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, dari 58 kasus pada tahun 1968 menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009. Dengue di Indonesia memiliki siklus epidemik setiap sembilan hingga sepuluh tahunan.

Hal ini terjadi karena perubahan iklim yang berpengaruh terhadap kehidupan vektor, diluar faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.  Menurut Mc Michael, perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, kelembaban suhu, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya.

Selain itu, faktor perilaku dan partisipasi masyarakat yang masih kurang dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) serta faktor pertambahan jumlah penduduk dan faktor peningkatan mobilitas penduduk yang sejalan dengan membaiknya sarana transportasi menyebabkan penyebaran virus DBD semakin mudah dan semakin luas.

Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993-2009 terjadi pergeseran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur <15 tahun, di tahun 1999-2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥15 tahun. Dan bila dilihat distribusi kasus dilihat berdasarkan jenis kelamin pada tehun 2008, presentase laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang dan perempuan berjumlah 8.991 orang.

Hal ini menggambarkan bahwa risiko tinggi terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin. Berikut ini persentase kasus DBD berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2008.
         
Gambar 2. Presentase Kasus DBD Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI,2008

Berdasarkan angka insidensi (AI) suatu daerah dapat dikategorikan termasuk dalam risiko tinggi, sedang dan rendah.Dikatakan risiko tinggi bila AI > 55 per 100.000 penduduk, risiko sedang bila AI 20-55 per 100.000 penduduk dan risiko rendah bila AI < 20 per 100.000 penduduk. Angka Insidensi tertinggi dicapai di provinsi yang umumnya berada di pulau Jawa dan Bali, namun angka kematian tertinggi umumnya berasal dari provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali.

Menurut data Dinas Kesehatan, selama periode 2005-2009, provinsi dengan angka insiden tertinggi adalah DKI Jakarta dan dari data tahun 2009, provinsi dengan angka kematian tertinggi adalah Bangka Belitung. Pulau Jawa adalah pulau dengan angka insidensi DBD tertinggi, provinsi yang berada di pulau Jawa dengan angka kematian tertinggi adalah Jawa Tengah. Jawa Tengah sebenarnya merupakan daerah yang dimasukkan dalam kategori risiko sedang pada tahun 2009. Namun sebelumnya pada tahun 2007 dan 2008, Jawa tengah masuk kedalam kategori risiko tinggi.

2.1.2 Gejala Penularan Demam Berdarah Dengu (DBD)
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, yaitu arthropad-borne virus atau virus yang disebabkan oleh arthropoda. Virus ini termasuk genus Flavivirus dari famili Flavivirade. Flavivirus ini berukuran diameter 40 nanometer, dapat berkembang biak dengan baikpada berbagai macam kultur jaringan. Baik yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya BHK (Baby Hamster Kidney) maupun sel-sel arthropoda misalnya sel Aedes albopictus.

Ada empat tipe yaitu virus dengue tipe 1, 2, 3, dan 4. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang bersangkutan, tetapi tidak untuk serotipe yang lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya terdapat di Indonesia. Di daerah endemik DBD,seseorang dapat terkena infeksi semua serotipe virus pada waktu yang bersamaan.

Epidemiologi dengue disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu virus, manusia, nyamuk. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk Aedes aegypti (di daerah perkotaan/ urban) maupun Aedes Albopictus (di daerah pedesaan/ rural). Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam darahnya). Virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari nyamuk ke telur-telurnya.

Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-7 hari dan orang tersebutakan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu.

Bionomik vektor meliputi kesenangan tempat perindukan nyamuk, kesenangan nyamuk menggigit dan kesenangan nyamuk istirahat diantaranya:
1.         Kesenangan tempat perindukan nyamuk
Tempat perindukan nyamuk biasanya berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana. Nyamuk Aedes tidak dapat berkembangbiak digenangan air yang langsung bersentuhan dengan tanah. Macam-macam tempat penampungan air:
a.        Tempat penampungan air (TPA), untuk keperluan sehari-hari seperti: drum, bak mandi/WC, tempayan, ember dan lain-lain.
b.       Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minuman burung, vas bunga, ban bekas, kaleng bekas, botol bekas dan lain-lain
c.       Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang, potongan bambu dan lain-lain (Depkes RI, 1992).
2.       Kesenangan nyamuk menggigit
Nyamuk betina biasa mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai petang hari, dengan puncak aktivitasnya antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Berbeda dengan nyamuk yang lainnya, Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi lambungnya dengan darah.
3.      Kesenangan nyamuk istirahat
Nyamuk Aedes hinggap (beristirahat) di dalam atau kadang di luar rumah berdekatan dengan tempat perkembangbiakannya, biasanya di tempat yang agak gelap dan lembab. Di tempat-tempat tersebut nyamuk menunggu proses pematangan telur. Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai, nyamuk betina akan meletakan telurnya di dinding tempat perkembangbiakannya, sedikit di atas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ± 2 hari setelah telur terendam air. Setiap kali bertelur nyamuk betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 100 butir. Telur tersebut dapat bertahan sampai berbulan-bulan bila berada di tempat kering dengan suhu -2ºC sampai 42ºC, dan bila di tempat tersebut tergenang air atau kelembabannya tinggi maka telur dapa menetas lebih cepat (Depkes RI, 2005).

Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan air bersih yang terdapat pada bejana-bejana di dalam rumah maupun di luar rumah. Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah:
a.       Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih
b.      Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah
c.       Jarak terbang ± 100 m dan nyamuk betina bersifat multiple biters
d.      Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi

2.1.3 Gejala Umum Penderita DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat menyerang anak usia sekolah maupun orang dewasa, ditandai dengan gejala awal yaitu:
a.       Demam mendadak serta timbulnya tanda dan gejala klinis yang tidak khas.
b.      Terdapat kecenderungan terjadinya shock yang berakibat kematian

Hemostatis yang abnormal dan kebocoran plasma adalah merupakan perubahan patofisiologis yang paling mencolok disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan temuan yang selalu ada. Gejala umum Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi sebagai berikut:
a.       Demam Tinggi
b.      Fenomena pendarahan Hepatomegali
c.      Sering disertai kegagalan sirkulasi atau trombositopenia ringan atau sedang yang disertai hemokonsentrasi.

Perubahan patofisiologis utama menentukan derajat penyakit DBD. DBD biasanya diawali dengan meningkatnya suhu tubuh secara mendadak disertai dengan memerahnya kulit muka dan gejala klinik tidakkhas lainnya seperti:
a.       Tidak nafsu makan
b.      Muntah
c.       Nyeri kepala
d.      Nyeri otot dan persendian
Keluhan-keluhan beberapa pasien DBD antara lain:
a.       Nyeri tenggorok dan pada pemeriksaan faring
b.      Rasa tidak enak di daerah epigastrum
c.       Nyeri tekan pada lengkung iga kanan
d.      Rasa nyeri perut yang menyeluruh
e.       Suhu badan tinggi mencapai 40º Celsius berlangsung selama 2-7 hari, dan kemudian menjadi normal atau subnormal dan dapat disertai kejang demam


2.1.3.1 Manifestasi Klinis menurut WHO
Kasus DBD ditandai oleh empat manifestasi klinis yaitu:
a.       Demam tinggi
b.      Perdarahan terutama perdarahan kulit hepatomegali
c.       Kegagalan peredaran darah
Pada tahun 1975 WHO menyusun patokan dalam diagnosis klinis pada penderita DBD yaitu:
1.      Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari
2.      Manifestasi perdarahan termasuk setidak-tidaknya uji Tourniquet positif dan salah satu bentuk lai  seperti petikia, purpuria, ekinosis, epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena
3.      Pembesaran hati
4.      Tanpa atau disertai renjatan
5.      Trombositopenia
6.      Hemokonsentrasi yang dapat ditafsikan dengan meningginya nilai hematokrit sebanyak 20% atau lebih dibandingkan nilai hematokrit pada masa konvalessen

2.1.3.2 Gambaran Klinik
1.      Masa Inkubasi
Sesudah nyamuk menggigit penderita dan memasukkan virus dengue kedalam kulit, terdapat masa laten yang berlangsung 4-5 hari diikuti oleh demam, sakit kepala dan malaise.
2.      Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2-7 hari kemudian turun menjadi suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan dengan berlangsungnya demam, gejala-gejala klinik yang tidak spesifik misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang, dan persendian, nyeri kepala dan rasa lemah dapat menyertainya.
3.      Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada harikedua dari demam dan umumnya terjadi pada kulit.
4.      Hepatomegali
Pada permulaan dari demam biasanya hati sudah teraba meskipun pada anak kekurangan gizi, hatipun sudah teraba. Bila terjadi peningkatan dari hepatoegali dan hati teraba kenyal,harus di perhatikan kemungkinan akan terjadinya renjatan pada penderita.
5.      Renjatan (syok)
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ketiga sejak sakitnya penderita, dimulai dengan tanda-tanda kegagalan sirkulasi yaitu kulit lembab, dingin pada ujung hidung, jari tangan dan jari kaki serta sianosis disekitar mulut. Bila syok terjadi pada masa demam maka biasanya menunjukan prognosis yang buruk. Nadi menjadi lembut dan cepat, kecil bahkan sering tidak teraba. Tekanan darah sistolik akan menurun sampai di bawah angka 80 mmHg. Manifestasi renjatan pada anak terdiri atas:
a.       Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan, dan hidung
b.      Kuku menjadi biru, kegagalan sirkulasi insufien yang menyebabkan peninggian aktifitas simpatikus secara refleks
c.       Apati,sopor, dan koma akibat kegagalan sirkulasi serebral.
d.      Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
e.       Tekanan sistolik pada anak turun menjadi 80 mmHg atau kurang.
f.       Ologuria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri renalis.
6.      Pembesaran Hati
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit. Nyeri tekan sering kali di temukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak berusia 4 tahun dan atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada anak yang hatinya semula tidak dapat diraba pada saat masuk rumah sakit dan selama perawatan hatinya menjadi lebih dan kenyal, karena keadaan ini menunjuk ke arah erjadinya renjatan. Pembasaran hati dilaporkan ditemukan sekitar 64,4% pada bagian anak di rumah sakit. Menurut WHO (1997) yang memberi pedoman untuk membantu menegakkan diagnosis DBD secara dini disamping menentukan derajat beratnya penyakit.
7.      Klinis Berat Penyakit
1.      Demam mendadak tinggi
2.      Derajat I : demam dengan uji bendung +
3.      Perdarahan (termasuk uji bendung +)
4.      Derajat II, derajat I + perdarahan spontan seperti petekie, epitaksis, hematemesis, dan lain-lain
5.      Derajat III: nadi cepat dan lemah, tekanan darah tak terukur
6.      Derajat IV : syok berat, nadi tak teraba
7.      Syok : nadi kecil dan cepat
8.      Gejala Klinik Lain
Nyeri epigastrum, mual, batuk, Atropapil, muntah-muntah, diare, maupun obstipasi dan kejang-kejang. Keluhan nyeri perut yang hebat seringkali menunjukan akan terjadinya perdarahan gastrointestinal dan syok.
9.      Diagnosa Laboratoris
a.       Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan trombosit hingga 100.000 /mmHg.
b.      Hemokonsentrasi, meningkatnya hematrokit sebanyak 20% atau lebih
10.  Derajat Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue)
a.      Derajat I (Ringan)
a.       Bila Demam mendadak 2-7 hari yang disertai gejala klinis tidak khas
b.      Satu-satunya gejala perdarahan yang paling ringan adalah hasil uji tourniquet yang positif
b.      Derajat II (Sedang)
Gejala yang timbul pada DBD  derajat I di tambah perdarahan spontan biasanya dalam bentuk perdarahan kulit atau perdarahan lainnya. Epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis atau melena. Terdapat gangguan sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.
c.       Derajat III (Berat)
Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan: denyut, nadi yang cepat dan lemah. Menyempitnya tekanan nadi 20 mmHg atau kurang atau hipotensi, ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta kondisi pasien menjadi gelisah
d.      Derajat IV (Berat Sekali)
Syok DSS (Dengue Shock Syndrome) berat dengan tidak terabanya denyut nadi maupun tekanan darah yang tidak terukur. 

2.1.3 Cara Penularan
Virus dengue ditransmisikan dari manusia ke manusia oleh gigitan nyamuk. Manusia adalah hospes definitif dari virus tersebut. Ditemukan juga bahwa di daerah hutan Malaysia dan Afrika, monyet menjadi hospes utama dari virus ini. Aedes aegepty adalah vektor nyamuk yang paling efisien dalam menyebarkan virus dengue karena kebiasaan hidupnya. Nyamuk betina mencari menggigit manusia di siang hari.

Setelah menggigit manusia yang terjangkit virus dengue, Aedes aegepty dapat menularkan dengue secara segera setelah menggigit manusia yang sudah terinfeksi atau setelah menunggu waktu inkubasi ( 8-10 hari) sehingga virus telah bertambah banyak di kelenjar ludah nyamuk. Sekali terinfeksi, selama daur hidup nyamuk (30-45 hari) dapat tetap menginfeksi manusia. Nyamuk Aedes lain yang memiliki kemampuan menularkan dengue adalah Aedes albopitecus, Aedes polynesiensis dan Aedes scutellaris.

Masing-masing spesies punya distribusi geografik yang berbeda dan spesies-spesies tersebut kurang efisien dalam menyebarkan dengue dibanding dengan Aedes aegepty.  Menurut WHO ada tiga siklus penyebaran virus Dengue:
1) Siklus Enzootik : siklus penularan yang terjadi antara monyet-Aedes-monyet yang dilaporkan terjadi di Asia Selatan dan Afrika. Virus tidak bersifat patogenik bagi monyet . Ke empat serotip dari dengue (DENV1-4) mampu menulari monyet.
2) Siklus Epizotik : virus dengue menyilang ke primata dari kondisi epidemik manusia. Perpindahan tersebut dijembatani oleh vektor.
3) Siklus Epidemik : siklus epidemik terjadi antara manusia-Aedes aegepty-manusia. Kontinuitas siklus ini bergantung pada tinggi titer virus pada manusia yang memberikan kemampuan meneruskan transmisi ke nyamuk.

2.1.4    Faktor yang mempengaruhi kejadian DBD
Menurut segitiga epidemiologi, suatu penyakit termasuk DBD dapat timbul akibat pengaruh dari 3 faktor berikut:
2.1.4.1. Agent
Agent merupakan penyebab infeksi, dalam penyakit DBD disebabkan oleh virus. Sedangkan vektornya merupakan nyamuk Aedes. Virus Aedes mampu bermultiplikasi pada kelenjar ludah dari nyamuk Aedes Aegepty. Maka pengontrolan terhadap virus dengue dapat dilakukan dengan pengontrolan vektornya yakni nyamuk Aedes. Jumlah kepadatan vektor Aedes dalam suatu daerah dapat menjadi patokan potensial penyebaran DBD.
2.1.4.2. Host
Terjadinya penyakit DBD pada seseorang ditentukan oleh faktor-faktor yang ada pada host itu sendiri. Kerentanan terhadap penyakit DBD dipengaruhi oleh imunitas dan genetik.
1)      Imunitas
Status imunitas dari host merupakan komponen penting yang menentukan perkembangan penyakit DBD. Ditemukan kejadian DBD meningkat pada kasus:
a.       Anak yang pernah terinfeksi dengue
Fase akut dari dengue mampu menghasilkan imunitas homotypic jangka lama. Selain itu, dalam beberapa penelitian menyebutkan dapat terjadi imunitas yang bersifat cross reactive heterotypic. Namun jika antibodi dari imunitas cross reactive heterotypic tersebut memudar dan gagal menetralkan virus Dengue dalam infeksi sekunder. Antibodi tersebut menjadi mampu memacu pathogenesis penyakit sehingga dapat terjadi demam berdarah dengue.
b.      Bayi dengan maternal dengue antibody yang minim.
Pasif IgG dengue antibody dari ibu jika dimiliki oleh bayi dibawah umur 1 tahun dalam taraf dibawah level penetralisir virus, memiliki kapabilitas meningkatkan replikasi virus sehingga dapat terjadi demam berdarah dengue pada infeksi primer.
2) Genetik.
Sebuah penelitian oleh J.F.P Wagenaar, dkk, telah membuktikan keterlibatan beberapa HLA (Human Leukocyte antigen) dan polimorfisme genetik umum dapat mempengaruhi kerentanan terhadap DBD. Keberagaman tersebut mampu memberikan kerentanan atau ketahanan kepada host terhadap virus dengue. Berikut ini sifat yang diberikan oleh gen HLA tertentu :
a.       Ketahanan terhadap virus :
HLA alel class 1 : A29, A33, B13, B14, B44, B 52, B62, B76, B77
b. Kerentanan terhadap virus :
a) HLA alel class 1 : A1, A2, A24, B blank, B46, B51
b) HLA alel class 2
c) Fc gamma-receptor
d) Vitamin D receptor

2.1.4.3. Environment
Pengaruh dari lingkungan yang mendukung berkembangnya virus ataupun vektor dari penyakit DBD antara lain :
1) Geografis dan Iklim
Dengue utamanya ditemukan di daerah tropis. Karena Vektornya yaitu nyamuk Aedes membutuhkan iklim yang hangat.15 Ketinggian juga merupakan faktor penting dalam distribusi nyamuk Aedes. Di Asia Tenggara ketinggian 1000-1500 meter di atas permukaan laut merupakan batas penyebaran nyamuk Aedes.2
2)      Faktor lingkungan lain
Kebersihan lingkungan, kondisi tempat penampungan air, dan kondisi tempat pembuangan sampah menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan nyamuk Aedes. Kondisi tersebut dapat dihindari dengan perilaku pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dalam rumah tangga, hendaknya dapat dilakukan oleh setiap anggota keluarga.


2.2 Ibu Rumah Tangga
2.2.1 Definisi Ibu Rumah Tangga
Rumah tangga adalah sekelompok orang yang tinggal dibawah satu atap atau dalam satu bangunan dan mempunyai dapur dan anggaran rumah tangga yang sama. (Sukarni, 2003 : 15) Jadi ibu rumah tangga adalah seorang wanita yang telah menikah dan menyandang status sebagai seorang istri atau ibu  yang tinggal bersama seorang kepala keluarga dan anak – anak mereka.

Jadi secara singkat untuk menjadi ibu rumah tangga yang profesional, ada 3 elemen yang harus terpenuhi. Yakni seorang ibu rumah tangga harus memiliki kompetensi baik dalam hal kerumahtanggaannya, memiliki kepatuhan pada sistem yang telah disepakati bersama seluruh anggota keluarga, serta memiliki pribadi yang memberikan keuntungan (bermanfaat bagi anggota keluarga. (Anggraeny, 2008 : 84)

2.2.2 Pengetahuan Pencegahan DBD Pada Ibu Rumah Tangga
Tingkat pendidikan terbukti secara statistik berhubungan dengan tindakan kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Widyanti (2005) yang membuktikan pendidikan mempunyai pengaruh terhadap tindakan masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit DBD dengan nilai odds ratio 7,633. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa responden yang berpendidikan rendah mempunyai kemungkinan 7,633 kali akan mempunyai tindakan yang kurang dalam upaya pencegahan penyakit DBD.

Hasil ini sejalan pula dengan penelitian Cahyo (2006) yang menunjukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan praktik pencegahan penyakit DBD. Pendidikan yang relatif rendah melatarbelakangi sulitnya penduduk untuk mengetahui konsep terjadinya penyakit DBD serta cara penanggulangan atau pemberantasan. Tingkat pendidikan responden terbanyak adalah tingkat SMP. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan responden masih pada kelompok pendidikan dasar, menurut undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, SMP termasuk dalam kategori pendidikan dasar yang berfungsi untuk menyiapkan anak didik pada jenjang menengah.

Pendidikan dasar (SD dan SMP) merupakan pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan selanjutnya, sehingga pendidikan setingkat SMP hanya sebagai tingkat dasar, sehingga materi yang diberikan hanya sebatas tingkat dasar. Pendidikan didalam sekolah memberikan bekal pengetahuan kepada anak didik dan memberikan pandangan yang lebih kongkrit tentang wawasan keilmuan sekaligus sebagai pewarisan nilai-nilai dan sikap masyarakat. Dengan demikian pendidikan disekolah dapat berimplikasi pada individu dalam memberikan tanggapan terhadap suatu masalah (Gunarsa, 2001).

Adanya latar belakang pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan kualitas perilaku dan sikap individu. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan  bahwa tindakan merupakan respon internal setelah adanya pemikiran, tanggapan, sikap batin, dan wawasan. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan formal yang tinggi memiliki tingkat pengetahuan dan wawasan yang lebih baik dan luas, serta memiliki kepribadian dan sikap yang lebih dewasa. Wawasan dan pemikiran yang lebih luas di bidang kesehatan akan mempengaruhi perilaku individu dalam menyikapi suatu masalah, pendidikan yang baik dapat memotivasi, memberi contoh dan mendorong anggota keluarga untuk melakukan pencegahan penyakit DBD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan tindakan kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,002). Kepadatan penduduk turut menunjang atau sebagai salah satu faktor resiko penularan penyakit DBD, semakin padat penduduk maka semakin mudah nyamuk Aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya (WHO, 2000). Sebaliknya dalam penelitian Fathi (2004) menunjukkan bahwa kepadatan penduduk tidak berperan dalam kejadian luar biasa penyakit DBD di Kota Mataram.

Pembagian tugas di dalam rumah tidak harus dilakukan oleh orang tua, mereka yang mempunyai anak cukup besar bisa melibatkan anak-anak dalam mengerjakan pekerjaan rumah sesuai dengan kemampuannya. Anak-anak perlu diberi batasan tugas dan tanggung jawab yang besar kecilnya disesuaikan dengan kematangan usianya. Dalam proses perkembangan anak, memberi contoh adalah cara yang paling efektif untuk mengharapkan anaknya untuk melakukan sesuatu misalnya menerapkan konsep hidup sehat. Di sini orang tua dapat memberi contoh bagaim     ana cara hidup yang sehat. Melakukan pemberantasan sarang nyamuk dengan cara 3 M (Menutup, Menguras, Mengubur), maka akan terhindar dari penyakit DBD.

Kepala keluarga bertanggung jawab terhadap anggota keluarga. Tanggung jawab tersebut akan berpengaruh pada kebiasaan dan pola pikir untuk memberikan contoh bagi setiap anggota keluarga untuk bersikap lebih balk lagi dengan cara mengajarkan pola hidup sehat terhadap anggota keluarga agar terhindar dan penyakit DBD, dan upaya mengantisipasi agar terhindar dari berbagai penyakit perlu diadakan kerjasama diantara keluarga dengan membersihkan lingkungan rumah dan melakukan pemberantasan sarang nyamuk apalagi pada musim hujan nyamuk berkembang biak dengan cara cepat sehingga perlu pencegahan sedini mungkin dan melakukan persiapan untuk mengantisipasi.

Secara statistik membuktikan ada hubungan antara informasi DBD dengan tindakan kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000). Hal ini sesuai dengan penelitian Widyanti (2005) yang menyatakan bahwa informasi mempengaruhi tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dan penelitian Langkap (2004) menyatakan bahwa dalam hal pencegahan DBD keluarga umumnya juga sudah memiliki pengetahuan yang baik, pengetahuan yang baik tidak terlepas dari upaya penyebaran informasi yang dilakukan oleh banyak pihak dengan berbagai macam saluran, sumber dan media yang disampaikan kepada keluarga.

Penelitian ini didukung oleh Hasyimi (1993) dalam Langkap (2004) yang menyatakan bahwa 65% responden mengetahui penyebab DBD, 60,2% responden mengetahui tempat perindukan nyamuk 76,4% tahu cara memberantas sarang dan jentik nyamuk dan 48% mengetahui cara mengigit nyamuk pada siang hari. Ditinjau dari informasi DBD menunjukkan bahwa pengetahuan responden diperoleh dari petugas kesehatan, media televisi dan radio, majalah atau koran, dan pemberitahuan dari teman, informasi yang diperoleh pun harus bersifat akurat, tepat waktu dan relevan.

Hal ini akan berdampak pada munculnya sikap yang diambil dan dilakukan dengan tindakan untuk mempraktekkan pengetahuannya, masyarakat yang memiliki akses informasi-informasi baru yang berkaitan dengan penyakit DBD dan dengan informasi tersebut maka pengetahuan masyarakat tentang bahaya dan pencegahan dapat bertambah, sehingga akan dihayati dalam bentuk sikap dan diterapkan secara nyata dalam kehidupan nyata. Memberikan informasi-informasi tentang cara-cara mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang upaya pencegahan penyakit DBD, pengetahuan merupakan hasil dari tahu dari manusia yang terjadi setelah manusia tersebut melakukan pengindraan.

Pengindraan melalui berbagai alat indra akan tetapi sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran, pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang atau over behavior (Notoatmodjo, 2003). Pada kenyataannya perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tanpa didasari dengan pengetahuan, pengetahuan diyakini kebenarannya yang kemudian terbentuk perilaku baru yang dirasakan sebagai pemiliknya.

Azwar (2003) menyatakan bahwa sikap adalah suatu pola perilaku atau antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, secara sederhana sikap dapat dikatakan adalah respon terhadap stimuli sosial yang telat terkondisikan. Disimpulkan bahwa semakin kurang sikap seseorang atau masyarakat terhadap penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD maka akan semakin besar kemungkinan timbulnya KLB penyakit DBD.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara partisipasi sosial dengan tindakan kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Djauri (2003) dimana terdapat hubungan antara partisipasi sosial dengan pengendalian penyakit DBD dan penelitian Warniningsih (2007) menunjukkan hubungan antara kecemasan dan partisipasi masyarakat dalam menghadapi penyakit DBD, dalam kegiatan pencegahan DBD partisipasi masyarakat sangat diperlukan. Dengan adanya partisipasi aktif maka diharapkan mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat DBD pada masyarakat, sehingga mampu meningkatkan derajad kesehatan masyarakat.

Partisipasi sosial masyarakat merupakan bentuk ikut sertanya responden dalam kegiatan sosial masyarakat dalam upaya mencegah DBD.Masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan, melaksanakan kegiatan yang dilakukan untuk mencegah penyakit DBD.Menurut Notoatmodjo (2005) partisipasi sosial masyarakat dalam mencegah penyakit DBD dapat dilakukan dengan kerjasama masyarakat dan lembaga pemerintah harus menunjukkan perhatian yang tulus tenhadap penderitaan manusia misalnya angka kesakitan dan kematian. Kemudian diadakan dialog antara lembaga pemerintah dengan tokoh masyarakat.

Dialog dilakukan melalui kontak personal diskusi kelompok dan pertunjukkan film, interaksi harus dapat membangkitkan pemahaman bersama, kepercayaan, keyakinan, antusiasme dan motivasi. Selanjutnya diadakan penyuluhan kesehatan tapi tidak hanya terbatas pada pemberitahuan tentang apa yang boleh dan tidak boleh, tetapi penyuluhankesehatan harus didasarkan pada penelitian.

Penggalaman sakit terbukti secara statistik ada hubungan dengan tindakan kepala keluarga menggerakkan anggota keluarga dalam pencegahan penyakit DBD (p=0,000). Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterprestasikan stimulus yang diperoleh. Pengalaman pernah terserang penyakit DBD menjadi pelajaran dan akan menyebabkan terjadinya sikap antisipasi (Notoatmodjo, 2005). Perubahan sikap yang lebih baik akan memberikan dampak yang lebihbaik dan pengalaman tersebut dijadikan bahan pembelajaran bagi seseorangyang akhirnya dapat merubah perilaku untuk mencegah kembali anggota keluarganya terserang penyakit DBD.

Jadi terdapat hubungan antara pendidikan, jumlah anggota keluarga, informasi DBD, pengalaman sakit dan partisipasi sosial dengan tindakan kepala keluarga beserta seluruh anggota keluarga dalam upaya pencegahan penyakit DBD.